Tuesday, September 13, 2011

the Culture of Indonesia

 Angklung is very good
ndonesian Culture – indonesiaculture.net. Since Daeng Soetigna changed the musical scale of angklungs from pentatonic to diatonic in 1938, its charmed has grown. Different types of music are performed in large orchestras. Many young and contemporary musicians have produced great musical composition from the sounds of this bamboo.
Sejak Daeng Soetigna mentransformasi skala nada Angklung dari pentatonis ke diatonis di tahun 1938, pesona Angklung menjadi lebih menarik. Berbagai genre musik dapat dimainkan secara orkestra besar. Banyak musisi muda dan kontemporer yang menghasilkan karya musik cemerlang dari suara bambu ini.
Angklung is a popular musical instrument in West Java made from black and white bamboo with a minimum bamboo growth age of 4 years and a maximum of 6 years. A bamboo canister, structure and frame are 3 elements of this Angklung musical instrument. Musical tones are produced by bamboo canisters of varying sizes which are shaken to rattle the canisters against its frames.
Angklung adalah alat musik populer dari Jawa Barat. Terbuat dari bambu hitam dan bambu putih dengan minimal umur tebang 4 tahun dan tidak lebih dari 6 tahun. Tabung Suara, kerangka dan dasar adalah 3 elemen dari alat musik Angklung. Nada-nada dihasilkan dari bunyi tabung bambu (tabung suara) yang berbentuk batangan disetiap ruas dari ukuran kecil hingga besar. Kemudian digoyangkan berbentur dengan kerangka tegaknya dalam kesatuan bingkai (dasar).
Angklung in its early form was known by the Sundanese during the reign of their kingdoms. Angklungs were used to lead troops into war and cheer the people, that is why the Dutch forbade the usage of angklungs.
Angklung dalam bentuk yang masih sederhana sudah dikenal masyarakat Sunda sejak masa Kerajaan Sunda. Angklung digunakan sebagai penyemangat dalam pertempuran. Pemacu semangat rakyat yang selalu berkobar setiap kali mendengar. Itu sebabnya, pemerintahan Hindia Belanda melarang masyarakat menggunakan angklung.
Gubrag Angklung made in jasinga, Bogor, at its age of 400 years old is a mute witness of Sundanese inheritance. Several other historical angklungs are well kept in Sri Baduga Museum of Bandung.
Angklung Gubrag yang dibuat di Jasinga, Bogor dengan usia 400 tahun adalah salah satu saksi bisu peninggalan budaya Sunda. Beberapa Angklung bersejarah lainnya masih tersimpan dalam Museum Sri Baduga, Bandung.
Buhun Angklung phase began since the AD 6th till the AD 15th century and has accompanied the communal activities of the Sundanese who were rice farmers. This led to a myth of Nyai Sri Poci as a rice goddess that gives life. Rituals and offerings to this rice goddess resulted in songs and poetry creativity.
Fase Angklung Buhun, sejak abad 6 -15Masehi telah menemani aktivitas masyarakat Sunda yang hidup dari bertani padi. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan. Dari penghormatan dan persembahan terhadap Dewi Padi/Sri inilah lahir kreasi-kreasi penciptaan syair dan lagu.
<script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "ca-pub-6796049996483896";
/* http://thebeautyofindonesiantourism.blogspot.com/ */
google_ad_slot = "4666990507";
google_ad_width = 728;
google_ad_height = 90;
//-->
</script>
<script type="text/javascript"
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
</script>

No comments:

Post a Comment